Page Nav

HIDE

Gradient Skin

Gradient_Skin

Responsive Ad

Idul Adha Saatnya Memperbaiki Pola Komunikasi Keluarga

Berita24.com -Idul Adha sebagai peristiwa besar Umat Islam baru saja berlalu. Sejarah mencatat  tentang ibadah haji dan ibadah penyembel...

Berita24.com-Idul Adha sebagai peristiwa besar Umat Islam baru saja berlalu. Sejarah mencatat  tentang ibadah haji dan ibadah penyembelihan hewan kurban yang kedua peristiwa besar tersebut tidak lepas pula dari perjalanan kehidupan keluarga Nabi Ibrahim dan Ismail kecil. Drama rumah tangga keluarga Ibrahim yang perlu kembali disimak ulang. Gaya komunikasi keluarga nabi di masa lalu yang keluarga masa kini (baca: milineal) perlu meneladani dan mengikuti.

Sejenak kita mengenang. Ketika Ismail yang masih merah digendong Ibunya yang bernama Hajar ditengah padang pasir kemudian Nabi Ibrahim pergi begitu saja. Tak ada pesan, dan tanpa  menolehpun. Berkali-kali Hajar menanyakan, “Kemana engkau pergi” tidak dijawab.
Akhirnya wanita itu mengubah pertanyaan, “Apakah Allah yang memerintahmu melakukan ini”, dan dijawab singkat oleh suaminya, “Iya”.

Ada pelajaran penting tentang komunikasi suami-isteri dalam dialog singkat ini.
Nabi Ibrahim itu seorang laki-laki, dan mengemban tugas sebagai Nabi. Sebagai laki-laki, kemampuan berbicaranya 7000an kata setiap harinya, berbeda  dengan perempuan yang konon 20.000an kata. Dalam keadaan menanggung beban mental, laki-laki semakin hemat  kata-kata, bahkan menginginkan diam. Ini berbeda dengan perempuan yang dalam keadaan tertekan ingin mencari solusi dengan banyak bicara.

Sebagai seorang Nabi, Ibrahim selalu terhubung dengan Allah. Semua perilaku, kata-kata, dan keputusan nabi itu disandarkan pada petunjuk-Nya. Banyak persoalan yang hanya dia dan Allah sebagai Tuhannya yang mengetahuinya. Menjelaskan urusan ini secara panjang lebar kepada isterinya belum tentu menambah kebaikan.

Untungnya Allah memilih Hajar yang menjadi isteri Ibrahim. Wanita yang taat dan pengertian. Pertanyaan berulangkali “Ke mana engkau pergi” seharusnya membutuhkan jawaban yang panjang, dan Hajar sadar suaminya tidak harus menjelaskannya. Maka pertanyaanpun diubah “Apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan ini” agar jawabannya menjadi singkat; “Ya” atau “Tidak”. Jawaban “Ya” adalah kesimpulan paling singkat dari semua alasan yang tak mungkin Nabi Ibrahim jelaskan dengan banyak kata dan kalimat.

Belajarlah dari pasangan istimewa ini. Ketika suami dalam tekanan, ia mungkin ingin mencari solusi dengan senyap. Bertahanlah untuk tidak memaksa kaum laki-laki menjelaskan alasan-alasan. Jika harus meminta keputusan penting, ubahlah pertanyaan yang jawabannya paling singkat.

Bagi para suami, berbicaralah panjang lebar kepada isteri selama itu memungkinkan. Sebab, bagi perempuan, berbicara tidak sekedar berkata-kata. Panjang pendeknya kalimat dapat bermakna banyak sedikitnya perhatian dan rasa Tidak mudah bagi Ibrahim mengatakannya, dan tidak ringan bagi Hajar mendengarnya. Tetapi begitulah, bahasa hati dan spiritualitas yang tinggi menjadikan Hajar dan Ibrahim mudah mengerti.

Ada cuplikan lagi peristiwa yang amat mengagumkan dalam keluarga ini, tentang ketaatan anak kepada ayahnya. Ketika Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah menyembelih putera semata wayangnya, Ismail.
“Wahai ayahku, lakukanlah saja apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku seorang yang sabar”, jawab Ismail.

Benar, sesabar-sabar anak pada waktu itu adalah Ismail. Setaat-taat anak di zaman itu juga Ismail. Jika seluruh manusia berkumpul mencari anak paling berbudi, tidak akan bertemu seorangpun kecuali Ismail.
Seiring waktu, Ismaillah yang dipercaya ayahnya memondasi pusat peradaban dan kiblat dunia, Ka’bah. Hanya insan paling salih yang dipercaya untuk terlibat pembuatan mahakarya ini. Karena bangunan ini akan dirindukan manusia sejagat untuk mendatanginya.

Kutipan dialog orangtua terhadap anak dalam kitab suci jauh lebih banyak antara ayah dengan anaknya, bukan ibu dengan anaknya. Penelitian di Ohio State University mengungkapkan bahwa para ayah pada dasarnya memiliki kecenderungan yang tinggi untuk mengasuh anak-anaknya. Rasa memiliki anak, ikatan batin untuk menyatu (bonding), kebanggaan dan harapan masa depan menjadi dorongan bagi para ayah untuk dekat dan terlibat pengasuhan bagi anak-anak mereka.

Siti Mahmudah Indah Kurniawati, Psikolog yang sekaligus   Kepala Seksi Tumbuh Kembang  Anak  dari Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Propinsi Kalimantan Timur mengatakan, dalam model komunikasi keluarga saat ini harus ada komunikasi dua arah. Orangtua lebih banyak mendengar agar anak mampu menyampaikan ide atau pendapatnya. Sebagaimana Ibrahim, meski perintah jelas dari Tuhannya namun membuka ruang dialog kepada Ismail dengan menyatakan, “ Wahai anakku aku bermimpi menyembelihmu, bagaimana pendapatmu?”.

Lanjutnya, ada waktu optimal berkomunikasi yaitu pada saat anak bangun tidur sampai saat mau berangkat sekolah dan yang kedua jam sesudah petang atau maghrib. Demikian pula jangan sampai tertinggal memberikan apresiasi sekecil apapun dari usaha seorang anak. Mulailah orangtua memberikan sepenuhnya rasa dan perhatian dengan cara menghindari gadget saat sedang berkomunikasi dengan anaknya.  Hindari banyak memerintah dan banyak menyuruh, tapi ajaklaj anak  mengenal lebih banyak bagaimana memaknai kerjasama. Jika anak sudah mulai tumbuh menjadi remaja, ajaklah diskusi suatu hal yang menarik, Gali hal-hal baru tentang apa yang akan ia lakukan atau bisa juga mendiskusikan tentang tentang bagaimana komitmennya dalam meraih cita-cita.

Idul Adha yang menjadi momen tahunan selayaknya pula menjadi bagian perbaikan untuk  meningkatkan pola komunikasi keluarga. Ayah dan Ibu harus bekerjasama mengasuh generasi milineal yang kadang pengetahuan dengan berita media sosial yang didapatkannya menjadikannya bertumbuh dengan cepat kearah dewasa.   Janganlah masuk dalam katagori analisa Lounn Brizendine (2010), yaitu para ibu ternyata berperan dalam kasus larinya sang ayah dari arena pengasuhan. Banyak kaum ibu yang tidak memahami  bahwa seorang ayah akan memiliki perbedaan dengan para ibu ketika menghadapi si kecil. Tujuan mendidiknya sama, tapi ayah tampil dengan berbagai gaya, beda metode, beda wahana, juga beda bahasa.

Kerjasama yang baik antara ayah dan bunda akan menghasilkan penyampaian pesan yang membawa anak berkarakter kedepannya. Para ibu pemilik soft love yang efektif akan mampu menumbuhkan kecerdasan emosi (Emosional Quotient), demikian pula ayah dari anak-anak yang mempunyai Hard Love akan mendongkrak Adversity Quotient, daya tahan anak sebagai generasi milineal kekinian dalam mengarungi kehidupan.

Machnun Uzni S.I.Kom
Founder Sahabat Misykat Indonesia.

Reponsive Ads